Kritik dan Esai
Pengertian Kritik
Kritik terdengar seperti celaan atau pernyataan yang mengungkap kekurangan karya seseorang. Namun, kritik yang sebenarnya tidak seperti itu. Kritik tanpa dasar tidak dianggap sebagai tulisan kritik. Karena, kritik haruslah didasarkan pada analisis yang mendalam.
Alasan yang disampaikan juga harus melalui kajian teori yang sudah mapan dan terbukti efektif serta objektif untuk menilai suatu karya. Kritik adalah tulisan yang berfokus pada penilaian karya yang berarti akan mengungkap kebaikannya juga, bukan hanya celaan tidak berdasar.
Pengertian Esai
Sementara itu, esai lebih mengarah pada cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan, objek, atau peristiwa. Hal ini tentunya berbeda dengan kritik yang fokusnya adalah menilai karya. Esai adalah tulisan yang menilai suatu fenomena atau terkadang karya berdasarkan sudut pandang penulisnya sendiri.
Perbedaan Kritik dan Esai
Pemahaman terhadap kritik dan esai sering kali rancu karena keduanya merupakan teks yang didasarkan pada suatu objek untuk dinilai. Oleh karena itu, mengetahui perbedaan kritik dan esai akan membantu menjernihkan keburaman tersebut. Berikut adalah perbedaan kritik dan esai menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 192) berdasarkan pengetahuan yang disajikan, dan pandangan penulisnya.
Sistematika Kritik dan Esai
Pada akhirnya, opini atau pendapat seseorang terhadap suatu hal lain adalah bentuk atau genre teks eksposisi. Oleh karena itu, ketika mengidentifikasi unsur kritik dan esai, maka akan ditemukan struktur dan sistematika penulisan teks eksposisi pula. Berikut adalah sistematika kritik dan esai yang masih berlandaskan struktur teks eksposisi.
Tesis Adalah pendapat atau opini umum yang biasanya berupa pengenalan dan deskripsi karya pada kritik atau pengenalan dan definisi umum isu pada esai.
Rangkaian argumen Merupakan argumen atau pendapat-pendapat penulis sebagai penjelasan khusus dari tesis umum yang telah dipaparkan. Pada teks kritik, bagian ini akan banyak memuat data, fakta, atau teori yang teruji untuk mendukung argumennya. Esai biasanya tidak terlalu banyak menggunakan fakta atau data karena sifatnya biasanya masih memiliki hipotesis baru.
Penegasan ulang Merupakan perumusan kembali secara ringkas mengenai tesis dan berbagai argumen yang telah disampaikan. Hal ini untuk menyilangkan kembali antara tesis awal dan rangkaian argumen menjadi kesatuan ide utuh yang dapat diserap dengan baik oleh pembaca. Bagian ini dapat berisi penilaian akhir dan saran konkret dalam teks kritik. Esai juga sebaiknya memuat solusi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan yang dibahas.
Contoh Teks Kritik dan Esai beserta Strukturnya
Contoh Esai
Berikut adalah contoh esai menurut Tim Kemdikbud (2017, hlm. 193) dilengkapi strukturnya di setiap sub judul.
Tesis
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: ”Grrr”, ”Dor”, ”Blong”, ”Los”. Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: ”Aduh”, ”Anu”. Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun—sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan ”bangun” dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai ”teror”—dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
Rangkaian Argumen
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang fi sik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya—yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut—hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah ”teater miskin” dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisanlapisan sosial. Teater Mandiri adalah ”teater miskin” karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, ”bertolak dari yang ada”.
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara ”peristiwa” dan ”cerita”, antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu.
Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah ”bangunan”, sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata ”teror” dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
Penegasan Ulang
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah ”memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal”. Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa ”kata adalah aksi”. Prosa, menurut Sartre, ”terlibat” dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut—dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya ”teror” ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup.
Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari ”yang ada”. Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Tugas
1. Bacalah teks berikut dengan saksama kemudian identifikasilah struktur teks tersebt!
Mengupas Tuntas Siberut Siberut, beserta orang-orang di dalamnya menyimpan sejarah perlawanan yang panjang terhadap kekuasaan dan politik ekologi di Indonesia. Ia merupakan salah satu pulau paling besar di Kepulauan Mentawai. Dari sanalah Darmanto dan Abidah Billah Setyowati bertemu dalam satu pembahasan. Darmanto merupakan peneliti perladangan tradisional Mentawai, yang juga bekerja sama dengan UNESCO (United Nation Educational Scientific and Cultrural Organization). Darmanto pertama kali menjejakan kaki di Siberut tahun 2003. Sedangkan Abidah menyelesaikan tesis untuk Universitas Hawaii. Pada awal pembuatan buku ini, sekitar tahun 2007, mereka menghabiskan tiga tahun untuk menjabarkan perebutan kekuasaan yang kompleks di Hutan Siberut.
Mereka pun menyusun Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaaan, dan Politik Ekologi (2012). Buku ini terdiri dari sepuluh bab. Masing-masing bab memiliki satu pembahasan yang utuh dan dapat dibaca secara terpisah. Namun penempatan urutan bab memudahkan pembaca mengenal Siberut beserta kompleksitasnya secara sistematik dan lebih mendalam. Pembaca akan mengenal sejarah panjang Siberut pada lima bab awal. Sedangkan pada lima bab setelahnya, lebih banyak menceritakan Orang Siberut serta interaksinya terhadap kekuasaan lain. Darmanto dan Abidah menjabarkan kondisi alam Siberut dengan proporsional. Sehingga pembaca yang buta mengenai pulau ini bisa meraba suasana hutan lewat penjelasannya. Meski tidak terfokus pada penelitian berbasis geologi maupun biologi, tetapi tidak serta merta melepaskan aspek tersebut pada pembentukan keunikan Pulau Siberut. Ini menjadi nilai lebih karena tak banyak buku yang menjelaskan sejarah Sisberut secara tuntas.
Di sisi lain, Orang Siberut digambarkan secara polos dan apa adanya. Penulis tidak melebih-lebihkan atau menutupi kenyataan, bahwa Orang Siberut tidak memiliki tujuan mulia untuk melestarikan hutan. Mereka hidup dengan adat dan roh-roh yang selama ini mereka percayai. Mereka memiliki penguasaan hutan yang dikelola secara tradisional. Semua hubungan tersebut tercampur baur dalam politik ekologi. Di mana hutan tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, begitu juga sebaliknya. Namun yang harus diperhatikan adalah bagaimana manusia memperlakukan hutan tersebut. Apa yang terjadi dengan Siberut tentu masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Di mana kekuasaan memegang peran besar dalam kendali terhadap hutan maupun lahan. Orang Siberut, pemerintah, maupun perusahaan memiliki kepentingan tersendiri terhadap hutan. Mana yang harus dibela? Buku ini tidak mengungkapkannya. Ia hanya memaparkan kondisi sebenarnya sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri.
Buku ini baik dalam mengungkapkan seluk-beluk suatu wilayah secara gamblang. Ia mengungkapan suatu hubungan antara hutan dan kekuasaan yang membayanginya. Baik itu kekuasaan oleh penduduk asli, pemerintah, perusahaan, atau lainnya. Namun, masih terdapat beberapa narasi yang kering. Mungkin itu karena ada beberapa kutipan panjang yang ditampilkan dalam satu paragraf, tanpa narasi yang lebih detail. Kurang lebih bentuknya sama seperti tesis. Tentu hal ini tidak mengurangi kecukupan informasi pembaca mengenai Siberut. Namun, untuk ukuran buku, narasi yang menarik tentu akan sangat membantu. Apa yang Darmanto dan Abidah suguhkan dalam buku ini sangat berguna bagi mereka yang bergelut dalam gerakan masyarakat, reforma agraria, serta ketegangan antar kekuasaan bekerja. Pembacaan yang gamblang pada suatu perebutan hutan, menjadi pelajaran penting untuk menentukan keberpihakan.
Comments